16 Desember 2007

Padungku

Beberapa hari lalu, warga Soroako, utamanya yang berprofesi sebagai petani menggelar sebuah ritual budaya yang dikenal dengan Padungku. Padungku merupakan pesta panen yang digelar sebagai ungkapan rasa syukur atas hasil pertanian yang diperoleh. Warga Soroako dewasa ini menggelar ritual Padungku setiap dua kali panen.

Dalam ritual ini, masyarakat berkumpul dan bergembira menikmati sajian makanan dan hiburan musik bambu (pebambu) serta menumbuk lesun. Pertunjukan menunbuk lesun, yang dalam bahasa Soroako dikenal dengan nohu bangka dimainkan oleh kelompok ibu-ibu. Nohu bangka ini merupakan pertunjukan yang serupa dengan Mappadendang dalam pesta panen di masyarakat bugis. Pada malam hari, ritual Padungku biasanya diisi dengan dero (tarian tradisional warga setempat dan juga di wilayah Sulawesi Tengah yang dilakukan dengan berpegang tangan sambil membuat formasi melingkar diiringi dengan lagu).
Kelestarian budaya Padungku dalam masyarakat Soroako yang terjaga hingga saat ini patut diapresiasi. Menjaga budaya lokal tetap lestari memang menjadi keharusan. Namun, dalam hal eksistensi Padungku di masyarakat Soroako, rasanya ini menjadi hal yang di luar biasa. Beberapa alasan yang dapat dikemukakan.

Pertama, masyarakat Soroako dewasa ini sesungguhnya bukan lagi masyarakat pertanian, melainkan masyarakat industri. Masyarakat yang menekuni bidang pertanian jauh lebih kecil dibandingkan dengan masyarakat yang menggantungkan hidup dari industri. Masyarakat Soroako umumnya merupakan pekerja di bidang pertambangan pada PT INCO Tbk dan sejumlah perusahaan lainnya. Meskipun budaya Padungku sesungguhnya dimiliki dan dilestarikan masyarakat lokal, namun perubahan pola hidup masyarakat Soroako secara umum paling tidak akan membawa pengaruh terhadap eksistensi budayanya. Apalagi era industri di Soroako telah berlangsung sejak lama yang ditandai dengan kehadiran PT INCO Tbk sejak tahun 1968 untuk memulai kegiatan eksplorasi. Ini adalah rentang waktu yang cukup lama yang paling tidak akan membawa implikasi terhadap kebiasaan dan budaya masyarakat.

Kedua, masyarakat Soroako adalah masyarakat yang majemuk. Sebutan Indonesia mini mungkin tidak terlalu berlebihan bagi kota kecil ini. Mengapa demikian? Ya, Soroako adalah kota kecil yang dihuni oleh masyarakat yang berasal dari berbagai etnik, ras, dan juga agama. Tidak terkecuali warga asing. Nah, kedatangan mereka ke Soroako tentu dibarengi dengan kehadiran budaya masing-masing. Namun, Padungku sebagai produk budaya lokal tetap eksis dan terjaga di masyarakat.

Ketiga, serbuan budaya global yang semakin edan. Meskipun berada di ‘hutan’ (baca; pedalaman), namun masyarakat Soroako tidak lepas dari penetrasi budaya modern. Ini dimungkinkan dengan akses informasi dan kemajuan teknologi yang dimanfaatkan oleh masyarakat setempat. Dari sisi pemanfataan teknologi informasi, warga Soroako cukup melek teknologi.

Tiga alasan ini dapat menguatkan bahwa eksistensi budaya Padungku sebagai budaya lokal yang terjaga hingga saat ini patut diapresiasi. Namun, tantangan keberadaan Padungku saat ini adalah menanamkannya menjadi nilai budaya bagi generasi muda Soroako. Dengan demikian eksistensi budaya ini akan semakin terjaga.
sumber : http://sultanhabnoer.wordpress.com/2007/07/11/27/

Tidak ada komentar: